Pojok Kabar

Aktual Terupdate

News

Mengubah Demokrasi dengan Revisi Pemilu

Pojokkabar.com – PEMILIHAN umum merupakan fondasi utama demokrasi, karena melalui mekanisme inilah rakyat dapat menyalurkan aspirasi politik mereka secara langsung dan sah.

Dalam pemilu, setiap warga negara memiliki hak yang setara untuk menentukan siapa yang akan mewakili mereka di lembaga legislatif maupun eksekutif.

Proses ini bukan hanya tentang memilih pemimpin, tetapi juga tentang mempercayakan masa depan bangsa kepada individu atau partai politik yang dianggap mampu mewujudkan harapan kolektif.

Sayangnya, regulasi pemilu saat ini masih menyimpan berbagai kelemahan, mulai dari tumpang tindih aturan hingga ketidaksinkronan antara Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada.

Situasi ini menciptakan kebingungan baik bagi penyelenggara maupun pemilih, serta membuka ruang bagi ketidakpastian hukum.

Maka, regulasi yang membingungkan justru menghambat kebebasan rakyat dalam mengekspresikan pilihan politiknya secara sadar dan merdeka.

Selain persoalan substansi regulasi, sistem pemilu yang digunakan pun perlu ditinjau kembali.

Penerapan sistem proporsional terbuka dalam konteks multipartai telah menimbulkan kompleksitas dalam pencalonan dan penghitungan suara.

Beban berat penyelenggara pemilu akibat desain keserentakan, lemahnya penegakan hukum, serta perubahan aturan di tengah tahapan pemilu melalui judicial review, menjadi indikasi kuat perlunya evaluasi menyeluruh.

Seperti dikatakan filsuf Bertrand Russell, “Demokrasi adalah proses di mana orang-orang memilih seseorang yang kelak akan mereka salahkan”, sebuah sindiran tajam yang mengingatkan kita bahwa sistem yang tidak dirancang dengan baik justru akan melahirkan kekecewaan publik.

Kita dihadapkan pada kenyataan bahwa regulasi pemilu dan pilkada tumbuh bagai dua pohon dalam satu lahan, akarnya bersilangan, batangnya bertubrukan, dan daunnya menebarkan bayang-bayang yang membingungkan.

Disparitas serta tumpang tindih antara Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada menyisakan celah hukum yang rentan dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan pragmatis.

Oleh karena itu, penyatuan dan kodifikasi keduanya ke dalam satu payung hukum yang padu perlu disegerakan, agar tidak ada lagi kisruh tafsir dan konflik kewenangan dalam pelaksanaannya.

Masalah kian rumit kala sistem proporsional terbuka dipadukan dengan sistem multipartai yang bercabang-cabang.

Kita menyaksikan bagaimana rakyat dipaksa memilih dari daftar panjang yang kerap kali membingungkan dan tidak transparan.

Sistem ini telah menciptakan perlombaan individual antar calon dalam satu partai, mengikis semangat kolektif dan membuka celah bagi politik transaksional.

Dalam kerumitan ini, suara rakyat acap kali tenggelam dalam strategi politik dan kepentingan elite.

Maka, sudah saatnya membuka ruang diskursus untuk menelaah kembali pilihan sistem, menyempurnakannya, agar pemilu kita tidak hanya demokratis dalam prosedur, tetapi juga bermakna dalam substansi.

Penegakan hukum pemilu pun menghadapi tantangan yang tak kalah pelik. Kelemahan regulasi, kurangnya independensi lembaga penegak hukum, dan terbatasnya sumber daya manusia telah melahirkan ketimpangan penindakan.

Ibarat pedang yang tumpul di satu sisi dan tajam di sisi lain, hukum tidak lagi menjadi panglima yang adil. Reformasi kelembagaan Peradilan Pemilu menjadi keniscayaan.

Bukan sekadar penambahan kewenangan, tetapi juga peneguhan integritas, peningkatan kompetensi, dan penguatan sistem akuntabilitas.

Tak hanya itu, pilihan desain Pemilu pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan antara Pemilu nasional dan Pemilu daerah telah memicu beragam reaksi serta perdebatan hangat di tengah masyarakat.

Keputusan ini dinilai memiliki dampak besar terhadap dinamika politik dan pelaksanaan demokrasi di Indonesia, sehingga menimbulkan kegaduhan di berbagai kalangan, baik dari partai politik, akademisi, pegiat demokrasi, hingga masyarakat umum.

Mereka mempertanyakan implikasi praktis dan filosofis dari pemisahan tersebut, dan menanti bagaimana rancangan regulasi yang akan dibuat oleh DPR dan penyelenggara Pemilu.

Tentu harapannya, apapun bentuk kebijakan yang diambil nantinya, harus tetap berpijak pada koridor konstitusional agar prinsip-prinsip demokrasi tetap terjaga dan tidak menimbulkan ketidakpastian hukum.

Yang lebih mencemaskan adalah kecenderungan regulasi pemilu berubah di tengah tahapan berlangsung, melalui keputusan Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung.

Fenomena ini bagaikan mengubah aturan main saat permainan telah dimulai. Ketidakpastian ini tidak hanya merugikan peserta pemilu, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan pemilu secara keseluruhan.

Oleh karena itu, revisi undang-undang perlu menetapkan batas waktu yang tegas bagi judicial review agar tidak menginterupsi proses demokrasi yang tengah berjalan.

Revisi Undang-Undang Pemilu bukanlah sekadar tugas pemerintah dan DPR semata.

Ia adalah bagian dari proses perenungan bersama, tentang masa depan bangsa yang ingin kita rajut.

Pemilu bukan hanya ajang lima tahunan untuk memilih wakil, melainkan sarana mewujudkan cita-cita luhur: menghadirkan pemerintahan yang sah, bersih, dan berpihak kepada rakyat.

Pemilu seharusnya tidak hanya mencerminkan prinsip demokrasi secara prosedural, tetapi juga menjamin keadilan secara substansial.

Diperlukan sebuah sistem yang memungkinkan hadirnya wakil rakyat dengan integritas dan komitmen terhadap kepentingan publik, bukan yang lahir dari praktik transaksional atau intrik politik.

Penegakan hukum pun harus dilaksanakan secara imparsial, tajam ke semua arah, serta tidak menunjukkan keberpihakan terhadap kekuasaan maupun membiarkan ketimpangan keadilan.

Revisi regulasi Pemilu mesti dijalankan dengan penuh kebijaksanaan, dengan mendengarkan suara rakyat, menyerap hikmah dari pengalaman masa lalu, dan menjauh dari tarik-menarik kepentingan sempit.

Para pemangku kebijakan haruslah mengedepankan visi keadilan elektoral yang berjangka panjang, bukan sekadar taktik untuk memuluskan jalan kekuasaan jangka pendek.

Regulasi adalah cermin nilai-nilai bangsa. Maka, biarlah revisi regulasi pemilu menjadi cermin yang jernih, yang memantulkan harapan rakyat, menunjukkan jalan terang, dan menegaskan bahwa demokrasi bukan sekadar prosedur, melainkan jalan menuju keadilan dan kemakmuran bersama.(red)

LEAVE A RESPONSE

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *