.CO.ID, JAKARTA — Para ekonom mengkritisi data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 tembus 5,12 persen. Alih-alih menciptakan optimisme, data tersebut justru disangsikan karena terlalu melampaui prediksi.
“Pada akhirnya, rilis angka pertumbuhan PDB sebesar 5,12 persen oleh BPS tidak membawa optimisme, melainkan justru menjelma menjadi sumber kecurigaan massal,” kata Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat dalam keterangannya kepada wartawan, Selasa (5/8/2025).
Menurut hemat Achmad, pengumuman pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) kuartal II 2025 sebesar 5,12 persen bukannya disambut dengan tepuk tangan, justru direspons dengan kerutan di kening atau kebingungan publik.
“Mengapa? Karena angka tersebut berdiri sendirian, menantang konsensus suram yang telah disuarakan oleh hampir seluruh lembaga kredibel, dari Dana Moneter International (IMF) dan Bank Dunia yang memproyeksikan di kisaran 4,7-4,8 persen, hingga para ekonom domestik yang melihat langsung lesunya denyut nadi perekonomian,” ujarnya.
Achmad menganalisis adanya jurang antara prediksi dan realita. IMF, dalam laporan World Economic Outlook Update edisi Juli 2025, memproyeksikan angka 4,8 persen pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Senada, Bank Dunia melalui Global Economic Prospects edisi Juni 2025 bahkan memberikan estimasi yang lebih konservatif yakni di angka 4,7 persen.
Lalu dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) memberikan rentang proyeksi antara 4,7 persen hingga 5,1 persen. Pemerintah sendiri melalui Kementerian Keuangan, menargetkan pertumbuhan di kisaran 5,0 persen dalam asumsi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Sementara itu, lembaga riset independen seperti INDEF dan LPEM FEB UI juga memberikan proyeksi yang jauh di bawah realisasi, masing-masing di angka 4,8 persen dan 4,95 persen.
“Angka realisasi BPS justru melampaui batas atas skenario paling optimis sekalipun,” tegasnya.
Konsensus menunjukkan bahwa para analis, baik global maupun domestik, melihat sinyal pelemahan yang nyata, sebuah sinyal yang menurut Achmad diabaikan oleh angka tunggal BPS. Ia menyebut, kesenjangan yang menganga tersebut lebih dari sekadar selisih statistik.
“Ia adalah sebuah anomali yang mempertanyakan fondasi paling dasar dari cara kita memahami negara ini: data,” terangnya.
Achmad melanjutkan, narasi resmi BPS yang coba dibangun bahwa sebuah ‘tsunami fiskal’ dari belanja pemerintah mampu menjadi penyelamat tunggal, dinilai terdengar simplistis dan tidak memadai. Skala perbedaannya terlalu besar untuk dijelaskan hanya oleh satu faktor, seberapapun masifnya faktor tersebut.
Achmad menuturkan, fundamental yang kini menggantung di benak publik adalah: benarkah daya ungkit belanja pemerintah sedahsyat itu hingga mampu meniadakan dampak gabungan dari lesunya konsumsi, mandeknya investasi swasta, dan anjloknya ekspor?
“Kecurigaan yang beralasan ini secara sah membuka kembali kotak pandora yang selama ini coba ditutup rapat: kemungkinan adanya kelemahan fundamental dalam metodologi BPS, baik yang terjadi karena ketidaksengajaan maupun kesengajaan. Angka 5,12 persen ini bukan lagi sekadar data, ia adalah sebuah potensi krisis kepercayaan,” ungkapnya.
Achmad memandang, keraguan publik terhadap anomali data BPS tersebut mengerucut pada dua kemungkinan yang sama-sama meresahkan. Opsi pertama adalah kemungkinan adanya inkompetensi dan kesalahan metodologis yang tidak disengaja.
“Kita harus berani bertanya, apakah metodologi BPS, yang mungkin dirancang untuk struktur ekonomi beberapa dekade lalu, masih relevan? Ekonomi telah bertransformasi secara drastis. Bagaimana BPS menangkap nilai tambah dari jutaan pelaku ekonomi digital, gig workers, atau transaksi e-commerce lintas batas yang tidak tercatat dalam survei konvensional?” kata dia.
Bisa jadi, lanjut Achmad, kerangka survei dan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang ada saat ini memiliki kelemahan inheren. Itu mungkin memberikan bobot yang berlebihan (over-represent) pada sektor-sektor yang datanya mudah didapat dari laporan administratif pemerintah, seperti konstruksi proyek negara dan belanja aparatur.
Sebaliknya, itu secara signifikan meremehkan (under-represent) dinamika sektor swasta, UMKM, dan sektor informal yang justru sedang berjuang paling keras.
“Jika ini masalahnya, maka angka 5,12 persen adalah produk dari sebuah sistem pengukuran yang usang atau cacat, yang menghasilkan potret ekonomi yang terdistorsi, indah di permukaan namun keropos di dalam,” tuturnya.
Kemudian, opsi kedua -yang lebih suram dan menakutkan- adalah adanya intervensi dan manipulasi data yang disengaja. Menurutnya, itu adalah sebuah kemungkinan yang tidak bisa lagi dikesampingkan dalam iklim politik yang penuh tekanan, yang mana angka menjadi segalanya.
Angka pertumbuhan ekonomi disebut bukan. lagi sekadar statistik. Lebih dari itu ialah rapor politik, komoditas pencitraan, dan justifikasi kebijakan.
“Ketika sebuah rezim menempatkan legitimasi dan citra keberhasilannya pada angka-angka tertentu, maka independensi lembaga statistik seperti BPS berada di bawah ancaman terbesar. Pertanyaan mengenai adanya ‘pesanan’ atau intervensi untuk memoles data agar terlihat baik menjadi sebuah keniscayaan,” jelasnya.
Achmad menuturkan, publik tidak perlu bukti adanya telepon langsung dari Istana ke kantor BPS. Menurutnya, tekanan bisa datang secara halus melalui alokasi anggaran, pemilihan pimpinan, atau sekadar ‘pemahaman’ tak tertulis bahwa data yang ‘baik’ akan membuat semua pihak senang.
“Angka yang melenceng jauh dari semua perkiraan bisa menjadi indikasi adanya upaya sistematis untuk merekayasa realita demi kepentingan politik sesaat, dengan mengorbankan kebenaran dan kredibilitas jangka panjang,” terang Achmad.
Ia menekankan, jalan keluar dari persoalan tersebut yakni audit independen sebagai keniscayaan. Pada titik itu, perdebatan bukan lagi sekadar soal angka, melainkan soal kepercayaan, pilar utama yang menopang hubungan antara negara dan warganya.
“Sekadar klarifikasi atau penjelasan teknis dari BPS tidak akan lagi cukup untuk memulihkan kepercayaan yang telah terkikis. Satu-satunya jalan keluar yang kredibel dari labirin ketidakpercayaan ini adalah melalui sebuah audit metodologi komprehensif dan independen terhadap BPS,” tegasnya.
Audit harus dijalankan oleh sebuah tim yang tidak memiliki konflik kepentingan. Terdiri dari para ahli statistik terkemuka dari universitas dalam dan luar negeri, ekonom independen, praktisi data, serta peninjau dari lembaga statistik internasional seperti Divisi Statistik PBB atau mitra pembangunan lainnya.
Tim audit harus diberi akses penuh untuk memeriksa setiap jengkal proses kerja BPS. Mulai dari desain kuesioner, metodologi penarikan sampel, proses survei lapangan, teknik imputasi data yang hilang, sistem pembobotan, hingga proses agregasi menjadi angka PDB final.
Lebih dari itu, audit juga harus menelaah struktur tata kelola dan mekanisme perlindungan institusional yang menjamin independensi BPS dari tekanan politik.
“Hasil audit ini harus dipublikasikan secara utuh kepada publik. Jika ditemukan kelemahan, maka harus ada peta jalan reformasi yang jelas. Jika ditemukan adanya intervensi, maka harus ada akuntabilitas. Dengan demikian, angka 5,12 persen ini, betapapun janggalnya, bisa menjadi sebuah momentum berharga,” jelasnya.
Mengembalikan kepercayaan pada data dinilai menjadi langkah pertama dan paling krusial untuk mengembalikan kepercayaan pada masa depan ekonomi Indonesia.