— Menjelang kick-off Super League 2025/2026 yang akan digelar Jumat (8/8/2025), kabar mengejutkan datang dari tubuh kompetisi tertinggi sepak bola Indonesia. Sebanyak empat klub tercatat masih menunggak gaji para pemainnya dengan total mencapai Rp 4,3 miliar.
Hal ini diungkap langsung oleh Wakil Presiden Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI), Achmad Jufriyanto, dalam jumpa pers di Jakarta. Ia menyampaikan total tunggakan itu berasal dari 15 pemain yang haknya belum juga dipenuhi oleh klub-klub tersebut.
“Untuk kasus di Liga 1 yang ada di kita itu tiga tim masih dalam proses korespondensi, satu tim sudah diproses di NDRC (National Dispute Resolution Chamber) dengan total pembayaran Rp 4,3 miliar,” ujar Jufriyanto, dikutip dari
Antara
, Kamis (7/8/2025).
Ia menambahkan proses komunikasi masih berlangsung dengan beberapa klub, namun satu kasus sudah resmi masuk ke jalur penyelesaian sengketa.
Sayangnya, hingga saat ini identitas keempat klub Super League yang menunggak gaji itu belum diungkap ke publik.
Meski begitu, isu ini tentu menjadi sorotan besar karena mencoreng citra profesionalisme menjelang dimulainya musim baru.
Skandal tunggakan gaji ini memicu kekhawatiran akan keberlangsungan karier para pemain yang semestinya dilindungi hak-haknya.
APPI pun mengingatkan klub-klub agar lebih bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban finansial mereka.
Bukan hanya di kasta tertinggi, persoalan serupa juga terjadi di Liga 2 yang musim ini berganti nama menjadi Championship. Jufriyanto menyebutkan total tunggakan gaji di Liga 2 mencapai Rp 3,6 miliar.
Di Championship, dua klub sedang melakukan korespondensi dengan APPI, sementara tujuh lainnya telah masuk jalur penyelesaian di NDRC.
Jumlah ini menunjukkan problem gaji pemain menjadi persoalan serius di hampir semua level kompetisi.
“Di Liga 2 itu ada dua tim yang masih dalam korespondensi dengan kita, tujuh tim masuk NDRC dengan total pembayaran yang belum diselesaikan Rp 3,6 miliar,” lanjut Jufriyanto.
Ia menyayangkan kondisi ini karena bisa mempengaruhi semangat pemain dalam menjalani kompetisi.
Kondisi yang lebih memprihatinkan bahkan terjadi di Liga 3. Meski levelnya di bawah, total tunggakan gaji yang tercatat mencapai Rp 2,5 miliar.
“Di Liga 3, dua tim korespondensi, empat tim di NDRC. Dua tim belum jalankan keputusan NDRC, satu belum jalankan DRC (Dispute Resolution Chamber) dengan total pembayaran yang belum diselesaikan Rp 2,5 miliar,” ujar Jufriyanto lagi.
Berdasarkan data APPI, tunggakan gaji pemain masih menjadi momok tahunan yang belum sepenuhnya terselesaikan.
Keberadaan lembaga penyelesaian sengketa seperti NDRC pun belum cukup kuat menekan pelanggaran ini.
Pemain-pemain yang menjadi korban tidak hanya dirugikan secara finansial, tetapi juga secara psikologis. Situasi ini makin pelik ketika tidak semua klub menghormati keputusan dari lembaga hukum olahraga tersebut.
Pihak APPI berharap musim 2025/2026 menjadi momentum untuk perbaikan manajemen klub secara menyeluruh bersama PSSI, NDRC, dan I.League.
Terutama menyangkut perlindungan hak-hak dasar pesepakbola profesional di Tanah Air.
Dari segi jadwal, Super League musim ini akan resmi dibuka Jumat (8/8/2025) malam. Laga pembuka mempertemukan Persebaya Surabaya melawan PSIM Yogyakarta di Stadion Gelora Bung Tomo pukul 19.00 WIB.
Laga tersebut akan menjadi sorotan bukan hanya karena aspek teknis di lapangan. Tapi juga karena bayang-bayang isu tunggakan gaji yang menghantui atmosfer kompetisi.
Masyarakat pecinta sepak bola pun berharap kompetisi musim ini tidak hanya kompetitif di lapangan. Tapi juga bersih dan adil di luar lapangan, termasuk dalam hal pemenuhan hak pemain.
APPI pun menegaskan pihaknya akan terus mengawal proses penyelesaian kasus gaji ini. Termasuk mendorong sanksi tegas bagi klub yang tidak kooperatif.
Perlu langkah konkret agar sepak bola Indonesia bisa benar-benar sehat secara industri. Tunggakan gaji bukan sekadar persoalan administratif, tapi menyangkut hajat hidup atlet yang bekerja secara profesional.
Jika klub tidak sanggup memenuhi kewajibannya, maka perlu evaluasi terhadap kelayakan mereka berkompetisi. Lisensi profesional seharusnya diberikan kepada klub yang benar-benar mampu dan bertanggung jawab.
Di tengah antusiasme menyambut musim baru, kabar ini menjadi alarm keras bagi semua pihak. Momentum pembenahan manajemen klub harus dimulai sekarang, bukan nanti.
Sepak bola Indonesia akan sulit maju jika hal mendasar seperti hak gaji pemain saja masih diabaikan. Sudah saatnya semua elemen bergerak untuk menciptakan ekosistem yang sehat, profesional, dan berkelanjutan.