– Beberapa konten kreator terkenal pernah membuat konten mengenai budaya orang Solo yang sarapannya adalah kuiner daging kambing.
Salah satunya adalah konten kreator di Instagram dengan nama akun
@bigtummy_culinary,
yang mengulas salah satu warung makan sate di Solo dan diunggah pada 5 April 2025 lalu.
Konten yang dia buat mengungkapkan bahwa warung makan Sate Kambing H. Man Gullit sudah buka sejak pukul 07.00 WIB.
Tak hanya sate, warung makan tersebut juga menyajikan olahan kambing lainnya, termasuk gula, tongseng, dan tengkleng.
“Jam 10.00 kurang seperempat,” ucap sang konten kreator di dalam video saat tiba di warung makan sate kambing itu.
“Orang Solo kalau sarapan tuh sate kambing,” lanjutnya.
Tak hanya dia, YouTuber Tanboy Kun juga pernah menjajal kuliner kambing di Solo pada pagi hari.
Dalam kontennya yang diunggah pada Maret 2025, Tanboy Kun mencoba masakan kambing di pedagang Sate Kambing Pak Parjo Brengos.
Dia mengungkapkan bahwa Sate Kambing Pak Parjo Brengos disebut juga sebagai Sate Kambing Subuh, karena sudah mulai berjualan sejak pukul 04.00 WIB.
“Biasanya yang jualan ini tuh siang atau enggak sore atau enggak malam sekalian,” ujar Tanboy Kun di depan Sate Kambing Pak Parjo Brengos.
“Tapi gue belum pernah dengar orang yang jual makanan ini pagi guys, pagi Subuh atau parak siang seperti ini nih,” tambahnya.
Lantas, mengapa orang Solo sarapan kambing?
Sejarah orang Solo makan daging kambing di pagi hari
Dosen sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sekaligus pendiri Solo Societeit, Heri Priyatmoko, mengonfirmasi bahwa ada budaya orang Solo yang makan daging kambing di pagi hari.
“Saya pernah menulis (esai) soal itu,” kata dia kepada
, Rabu (9/7/2025).
Menurut Heri, hal tersebut berkaitan dengan penduduk Hadramaut (Timur Tengah) yang datang ke tanah Jawa, khususnya daerah Solo.
Kebanyakan dari mereka pun tinggal di wilayah yang saat ini dikenal sebagai Pasar Kliwon.
Meski berada di Solo, mereka tetap membawa budaya dari Hadramaut, termasuk pola makan sehari-harinya.
Berdasarkan riset van Berg yang tertuang dalam buku Orang Arab di Nusantara (2010), orang-orang Hadramaut makan tiga kali sehari
“Sarapan segera setelah orang bangun, mengambil air wudhu dan bersembahyang Subuh,” ucap Heri.
Kemudian makan siang dilakukan antara pukul 11.00-12.00 sebelum ibadah Zuhur, serta makan malam setelah shalat Isya sekitar pukul 19.30.
Sebagai informasi, mayoritas orang-orang atau penduduk Hadramaut memeluk agama Islam.
Sementara daging kambing merupakan makanan pokok orang-orang Hadramaut tersebut. Justru beras menjadi makanan sekunder mereka.
“Roti dari gandum atau jewawut, kurma kering, dan daging kambing merupakan makanan pokok,” ujar Heri.
Daging kambing tersebut salah satunya diolah menjadi sate. Namun sate dikenal dengan istilah lain di Timur Tengah atau daratan Arab.
Di sana, daging kambing diolah dengan cara dibakar dan dikenal dengan shish kebab. Metode itu populer sejak zaman Kesultanan Utsmaniyah.
“Di Timur Tengah, sate kambing irisan dagingnya jauh lebih besar ketimbang sate Indonesia dan dipanggang dengan tusukan besi, tidak memakai ruas bambu,” ungkap Heri.
Dia menyebut, orang-orang Hadramaut yang tinggal di Pasar Kliwon adalah penggila berbagai olahan daging kambing seperti sate, gulai, krengseng, dan nasi goreng.
Seiring waktu, Pasar Kliwon menjadi tempat orang-orang sekitar untuk mencari olahan daging kambing, salah satunya sate.
“Gemar menyantap olahan kambing rupanya memacu maraknya warung sate di kawasan Pasar Kliwon yang masih bisa kita jumpai sampai sekarang,” kata Heri.
Orang-orang lokal pun bekerja kepada orang-orang Hadramaut untuk ikut menjalankan warung sate kambing.
Semula, mereka membantu majikan seraya belajar teknik memasak dan manajemen warung sate. Di sana, warga lokal menciptakan resep tongseng dari krengseng.
“Tongseng identik dengan kuah, sedangkan krengseng diolah kering. Secuil fakta ini menunjukkan daya kreasi warga lokal yang tidak hanya pasrah menerima pengaruh luar,” terang Heri.
Setelah punya cukup modal dan pengalaman mengolah daging kambing, orang-orang lokal pun mulai membuka bisnis kuliner tersebut. Mereka juga tidak memusat di Pasar Kliwon.
Heri menilai, sate juga menjadi makanan favorit para priyayi saat itu yang terbawa sampai pensiun, bukan hanya digandrungi kaum keturunan Hadramaut di Pasar Kliwon.