Pojok Kabar

Aktual Terupdate

News

Losing the Way in SPMB Residency Path


, BANGKA

– Provinsi Kepulauan Bangka Belitung masih punya pekerjaan rumah (PR) besar dalam pendidikan. Terbaru, Angka Partisipasi Sekolah (APS) di Babel tahun 2025 hanya menunjukkan nilai baik pada rentang umur 7-15 tahun.

Data ini termaktub dalam Rapor Pendidikan Tahun 2025 yang diunggah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) RI pada 14 Juli 2025 di situs resminya.

Rapor pendidikan ini rutin diunggah setiap tahun. APS sendiri adalah angka partisipasi setiap anak sejak usia minimal 5-18 tahun, tidak terkecuali penyandang disabilitas, dapat mengakses pendidikan berkualitas sebagai bekal untuk meningkatkan peluang memperoleh kehidupan yang lebih baik.

APS merupakan satu indikator dalam rapor pendidikan yang diharapkan bisa meningkatkan kesadaran masyarakat dan unsur terkait lainnya atas pentingnya pendidikan anak sejak usia minimal 5 tahun dan mempermudah akses untuk memperoleh pendidikan kepada semua anak termasuk anak dengan disabilitas.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Bangka Belitung, Darlan mengakui permasalahan APS seperti yang tercantum dalam Rapor Pendidikan Tahun 2025 Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Satu di antara faktor yang memengaruhi APS ini adalah Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) atau Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) beberapa tahun belakangan.

“Motivasi anak sekarang untuk berkompetisi justru timpang. Anak yang suka belajar nilainya jauh di atas, tapi sebagian besar anak yang biasa-biasa saja bahkan masih di bawah KKM. Ini perlu menjadi perhatian bersama,” kata Darlan saat ditemui Bangka Pos, Jumat (25/7).

Menurut Darlan semangat berkompetisi dan belajar anak itu juga dipengaruhi jalur penerimaan dalam SPMB atau PPDB.

Hal itu tergambar dari data APS yang menunjukkan hanya usia anak rentang 7-15 tahun yang nilainya baik, atau bisa diartikan di tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Sementara di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) atau rentang usia 16-18 tahun, APS Babel Tahun 2025 dinilai rendah atau turun dibanding tahun 2024. Kondisi yang sama juga tergambar dalam Rapor Pendidikan Tahun 2024.

“Semangat kompetisi dan belajar anak ini juga tidak terlepas dari mindset orang tua yang berkaitan dengan SPMB. Jalur domisili yang berlaku dalam SPMB tingkat SD dan SMP mem

buat orang tua dan anak merasa nyaman karena memudahkan anak diterima di sekolah terdekat,” ujarnya.

“Tetapi ketika masuk ke SMA, sistem berubah menjadi seleksi berdasarkan nilai. Nah, banyak yang akhirnya kalah bersaing, ditawari sekolah swasta, tapi menolak karena alasan tidak mampu. Padahal bukan karena benar-benar tidak mampu, tapi karena pola pikir orang tua yang

cenderung memanjakan anak,” lanjut Darlan.


Bukan tanpa syarat

Untuk itu, Darlan menghimbau orang tua lebih bijak dan aktif dalam mendampingi anak di rumah. Ia menekankan pentingnya peran keluarga dalam menyalakan semangat belajar anak, bukan justru membiarkan anak menyerah ketika tidak diterima di sekolah tujuan.

“Kalau anak didukung sejak kecil, ditanamkan semangat belajar, itu bisa menaikkan kualitas hidup keluarga, bahkan berkontribusi untuk ekonomi daerah dan pencapaian Indonesia Emas 2045,” ucapnya.

Darlan, menjelaskan bahwa sebagian besar keluhan datang dari orang tua yang merasa anaknya berhak masuk sekolah yang dianggap favorit. Dengan jarak rumah yang dekat dengan sekolah tujuan.

Namun, mereka tidak memperhitungkan kriteria utama dalam jalur domisili untuk jenjang SMA/SMK, yaitu nilai rapor selama SMP, bukan jarak rumah semata.

“Kami menerima laporan dari orang tua yang anaknya tidak diterima di sekolah yang mereka inginkan. Mereka cenderung memaksa masuk ke sekolah favorit. Tapi kami kembali tekankan bahwa jalur domisili di tingkat SMA/SMK berbeda dengan SMP. Di Permendikdasmen Nomor 3 Tahun 2025, yang menjadi acuan utama dalam jalur domisili SMA adalah nilai rapor SMP, baru kemudian jarak rumah,” ucapnya.

Menurutnya, kenyamanan yang ditawarkan oleh jalur domisili justru dikhawatirkan menurunkan semangat belajar dan kesiapan berkompetisi siswa untuk jenjang pendidikan selanjutnya.

“Kami mengimbau agar siswa dan orang tua tidak terlalu merasa nyaman dengan adanya jalur domisili. Rasa nyaman ini sering kali membuat minat belajar berkurang. Padahal, ketika

masuk ke jenjang SMA, sistem seleksi lebih kompetitif dan nilai menjadi faktor utama,” tegas Darlan.

Ia menekankan pentingnya membangun jiwa kompetisi sejak dini, agar siswa terbiasa menghadapi persaingan yang sehat dalam dunia pendidikan, terutama saat mendaftar ke sekolah favorit atau unggulan.

“Jalur domisili bukan berarti tanpa syarat. Kami ingin anak-anak tumbuh dengan semangat berjuang Hanya dengan semangat itu mereka bisa selamat dalam ‘pertempuran’ SPMB ke

depan,” tutupnya.


Budaya nikah muda

Terpisah, Kepala Bidang Dewan Pengawas Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Edison Taher menyoroti tantangan besar dunia pendidikan di Babel, khususnya dari jenjang SMP ke SMA/SMK.

Dia menyebut budaya nikah muda yang masih kuat di sejumlah daerah turut menjadi penyumbang angka putus sekolah di Babel.

“Banyak anak-anak usia belia yang dibiarkan bergaul bebas, hingga akhirnya menikah muda. Ada satu daerah yang dulu dikenal sebagai penyumbang pernikahan dini tertinggi. Bahkan di sana, waktu menikah ditentukan bukan berdasarkan jadwal KUA, tapi kapan band bisa tampil. Jadi ‘band’ jadi penentu nikah, bukan lembaga agama,” ungkap Edison, Sabtu (26/7).

Ia menegaskan, kondisi ini tidak bisa hanya dibebankan kepada Dinas Pendidikan.

“Semua lembaga harus bergerak, termasuk masyarakat sipil. Terutama untuk menjangkau pelosok-pelosok agar tidak ada lagi anak yang putus sekolah,” ujarnya.

Edison juga menekankan pentingnya peran orang tua, terutama ibu.

“Justru suara ibu-ibu lebih didengar di lingkungan. Mereka bisa jadi agen sosialisasi yang efektif untuk menyadarkan pentingnya pendidikan,” tambahnya. (x1)

LEAVE A RESPONSE

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *